Bagaimanakah sejarah perkembangan kelapa sawit di Indonesia? Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman yang berasal dari Afrika Barat. Tumbuhan ini dikenal sebagai tanaman penghasil minyak nabati yang memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi daripada tanaman-tanaman penghasil minyak yang lain.
Kali pertama kelapa sawit dibawa ke Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Kala itu, pemerintah membawa tidak kurang dari empat bibit kelapa sawit yang diambil dari Bourbon, Mauritius dan Hortus Botanicus, Amsterdam. Selanjutnya bibit tersebut ditanam di Kebun Raya Bogor.
Pada mulanya, kelapa sawit dipelihara sebagai tanaman hias mengingat bentuk struktur pohonnya yang cukup unik dan menarik. Barulah pada tahun 1911, pemerintah menyadari akan potensi kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati yang sangat menguntungkan. Pemerintah Belanda lantas mencanangkan penanaman kelapa sawit secara besar-besaran khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Tokoh yang berperan penting dalam perintisan budidaya kelapa sawit adalah Adrien Hallet dari Belgia. Setelah hasilnya menuai kesuksesan, banyak orang yang kemudian mengikuti jejak usahanya. Salah satunya yaitu K. Schadt, di mana di tangannya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perlu diketahui, perkebunan sawit pertama di Indonesia terletak di Pantai Timur Sumatera, lebih tepatnya Deli dan Aceh dengan luas mencapai 5.123 hektar.
Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada masa pendudukan Belanda bahkan mampu mendominasi pasar dunia dan sanggup menggeser kapasitas ekspor dari negara-negara Afrika yang notabene merupakan habitat asli kelapa sawit.
Sayangnya hasil dari perkebunan tersebut mengalami kemunduran yang drastis pada masa penjajahan Jepang. Banyak perkebunan kelapa sawit yang tidak dikelola dengan baik hingga mengalami penyusutan sekitar 16 persen dari total luas lahan. Imbasnya, Indonesia hanya sanggup memproduksi minyak kelapa sawit sebanyak 56.000 ton pada kurun waktu 1948/1949.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya atau pada tahun 1957, pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tersebar di seluruh Nusantara dengan alasan politik dan keamanan. Sejumlah perwira militer pun dikerahkan untuk menjaga area perkebunan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Sebagai tenaga pengelola kebun, pemerintah juga membentuk BUMIL (Buruh Militer) yabg terdiri atas buruh perkebunan dan anggota militer. Naasnya karena situasi sosial, politik, dan keamanan di dalam negeri belum stabil, produksi kelapa sawit di Indonesia pun semakin menurun dan tergeserkan posisinya oleh Malaysia.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia selanjutnya mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Orde Baru. Pengelolaan perkebunan ini difokuskan untuk menyediakan lapangan perkerjaan, meningkatkan kesejahteraan, dan sumber devisa bagi negara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah lalu mengembangkan lahan kelapa sawit di berbagai daerah.
Luas lahan kelapa sawit di Indonesia hingga pada tahun 1980 diketahui memiliki ukuran mencapai 294.560 hektar. Sedangkan kapasitas produksi CPO (Crude Palm Oil) sebanyak 721.172 ton. Inilah pertanda aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai bergeliat kembali, khususnya untuk kebun-kebun yang dikelola oleh rakyat. Pemerintah pun mendukung kabar baik tersebut dengan mengeluarkan program PIR-BUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan).